Berkaitan dengan PULAU BUNGIN, selain unik pulau ini juga membawa inspirasi yang luar biasa lho, mau tau kenapa , ni buktinya, Film dokumenter berjudul “Bulan Sabit Di Tengah Laut” karya sutradara Yuli Andari, mendapat kesempatan untuk diputar dan diapresiasi dalam program New Asian Current, Yamagata International Documentary Film Festival (YIDFF) 2009 di Jepang. YIDFF merupakan festival dokumenter dua tahunan yang sangat bergengsi di seantero benua Asia.
Dalam setiap penyelenggaraannya, YIDFF membuka kesempatan bagi para sutradara muda berbakat di Asia untuk menunjukkan karya mereka dan diseleksi dengan ketat untuk bisa lolos dalam program tersebut. Tahun 2009 ada 19 film dokumenter terbaik yang dipilih oleh festival tersebut setelah berhasil menyisihkan 600 film dokumenter di seluruh belahan benua Asia. “Bulan Sabit Di Tengah Laut” merupakan satu-satunya film dokumenter yang mewakili Indonesia bersanding dengan film dari Iran, Korea, Jepang, China, Thailand, Filipina, Syria, dan Lebanon. Tahun 2009 YIDFF berlangsung pada tanggal 8 – 15 Oktober 2009.
“Bulan Sabit Di Tengah Laut” diproduksi pada tahun 2007. Sebelumnya, naskah film ini terpilih sebagai naskah dokumenter terbaik di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2006, dan berhak atas dana produksi sebesar 2500 euro (sekitar 30 juta rupiah). Film ini bercerita tentang kehidupan komunitas Bajo di Pulau Bungin Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa NTB yang sedang berada dalam pusaran perubahan zaman. Isu besar tersebut direpresentasikan dalam kehidupan sebuah keluarga.
Film ini dikerjakan oleh kru yang terbatas yaitu: Yuli Andari (sutradara), Opan Rinaldi (Kameraman), Aline Jusria (Editor), dan Stania Puspawardani (penerjemah).
Dokumenter ini bercerita tentang kehidupan Makkadia dengan lima anaknya yaitu Arif, Jon, Ani, Rifai dan Khairman. Mereka adalah sebuah keluarga nelayan di pulau Bungin, sebuah pulau yang terbentuk dari batu karang yang disusun begitu rupa menjadi daratan yang sedang menghadapi perubahan setelah ada jalan yang menghubungkan pulau itu dengan pulau Sumbawa.
Selama 63 menit, dokumenter ini perlahan mengupas kehidupan masing-masing anggota keluarga dan relasi antar mereka. Khairman dan Jon yang bekerja sebagai nelayan tradisional mengikuti jejak Makkadia, sedang menghadapi persoalan berkurangnya tangkapan ikan dan harus berhadapan dengan nelayan dari pulau lain yang menggunakan bom untuk menangkap ikan. Rifai sedang mempersiapkan kampanye sehubungan dengan pencalonan dirinya menjadi kepala dusun pulau Bungin dan harus berhadapan dengan tujuh calon lain. Arif yang murung dan gelisah sebab takut tidak lulus dari sekolah. Ani sebagai ibu rumah tangga dan Makkadia sebagai bapak yang juga pemegang bendera warisan leluhur mereka sebagai suku Bajo harus berhadapan dengan perubahan yang sedang terjadi di pulau itu.
Film Dokumenter ini murni kreasi anak muda Sumbawa, Yuli Andari sang sutradara Lahir pada 29 Juli 1980 di Sumbawa Besar, NTB. Mulai mempelajari produksi film dokumenter sejak tahun 2004. Setelah mengikuti workshop pengembangan naskah dan produksi film dokumenter yang diselenggarakan oleh In-Docs, lahirlah film dokumenter pertamanya yang berjudul “Beauty is Pain”. Tahun 2005 ia berkolaborasi dengan Anton Susilo mengikuti kompetisi film dokumenter diselenggarakan oleh In-Docs, Metro TV dan Media Indonesia. Naskah film dokumenter yang dikompetisikan berjudul “Joki Kecil”. Setelah “Joki Kecil” dikompetisikan dan tayang di Metro TV, film ini mendapat penghargaan sebagai Film Terbaik Eagle Award 2005 sekaligus Film Pilihan Pemirsa. Pada akhir 2005, film Joki Kecil juga terpilih sebagai Official Selection Jakarta International Film Festival [JIFFEST]. Selain itu, “Joki Kecil” juga mendapat penghargaan penyutradaraan terbaik dalam Asian Competition, Tehran International Short Film Festival 2006.. Film dokumenternya yang diproduksi pada tahun 2007, “Bulan Sabit Di Tengah Laut” terpilih sebagai salah satu film terbaik (dari 19 film yang dinominasikan) yang berhak mengikuti program New Asian Current, Yamagata International Documentary Film Festival (YIDFF) 2009. Saat ini ia bekerja sebagai peneliti kajian budaya di KUNCI Cultural Studies Center dan sutradara dokumenter di Benangmerah production, Yogyakarta.
Begitu juga dengan Opan Rinaldi sang kameraman Lahir di Sumbawa Besar, 25 Mei 1979. Menyelesaikan studi di jurusan Desain Komunikasi Visual tahun 2004. Pernah terlibat dalam beberapa proyek film fiksi dan dokumenter di Yogyakarta antara lain: Bawakan Aku Bunga (fiksi, 2000), Sindikat (fiksi, 2002), Gondomanan Project (dokumenter, 2006), Tibaraki: Persembahan pada Leluhur (dokumenter, 2007).
(sumbawanews.com(sn01))
dimana bisa di tonton filmnya??
BalasHapusbanyak film atau karya anak daerah tapi kurang publikasi...