Home » » Barapan Kebo Ajang Sandro Adu Ilmu

Barapan Kebo Ajang Sandro Adu Ilmu

Written By Fahry Samalewa on Selasa, 20 Juli 2010 | Selasa, Juli 20, 2010


Mungkin sebagian besar rakyat Indonesia mengetahui bila penduduk Pulau Madura, Jawa Timur, memiliki tradisi karapan sapi. Boleh jadi benak akan bertanya, kalau mendengar barapan kebo (balapan kerbau). Konon permainan rakyat ini hanya ada di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Barapan kebo berupa sepasang kerbau yang beradu kecepatan lari, yang dikendalikan seorang Joki. Kerbau yang lari lebih cepat dan mampu menjatuhkan sakak (tiang kayu) di garis finis, itulah pemenangnya. Untuk merobohkan sakak ada sandro (dukun) yang dengan kekuatan ilmunya bisa mengecoh ternak dan Jokinya.

Kerbau balap tidaklah sembarangan, namun biasanya memiliki ciri khusus berupa pusaran pada bulunya. Tanda itu jumlahnya seimbang pada bagian tubuhnya, misalnya, dua pusaran masing-masing di kiri dan kanan tubuhnya. Yang terbaik, pusaran itu berada pada bagian tengkuk dan di antara kedua mata kerbau.

Kepalanya selalu memandang tegak ke depan, dan tanduknya tumbuh sempurna melengkung ke atas. Ciri-ciri itu dimiliki sepasang kerbau yang kelak jadi petarung dalam barapan. Sebelum jadi atlet, duet kerbau dilatih berlari di sungai-sungai yang kebetulan airnya lagi surut, atau di tempat khusus yang disediakan pemilik kerbau. Berapa lama kerbau dilatih sebelum diturunkan ke arena kompetisi, tidak ada target waktunya.

Kerbau ini dilengkapi sejumlah peralatan bertanding seperti noga, sebatang kayu dengan panjang 2,5 meter yang dipasang pada punduk kedua binatang itu. Di bagian tengah noga ada kayu memanjang ke bagian belakang badan kerbau, dan bagian ujung kayu itu terdapat kareng untuk pijakan sang Joki.

Dengan mangkar (cemeti/ cambuk), sang joki berdiri dibawa lari oleh ternak itu dari palepas/garis start ke sakak-bisa berbentuk patung kayu-sebagai garis finis. Batas arena lomba juga ditandai kayu disebut pancang. Di dekat sakak berdiri seorang sandro selaku wasit, yang memberi komando dengan peluit saat permainan dimulai.

Joki dan ternak harus merobohkan sakak, sehingga dinyatakan sebagai pemenang. Hanya saja untuk menjatuhkan sakak tidak gampang, karena di seputar sakak itu berdiri seorang sandro yang dengan kemampuan ilmunya berupaya mengecoh ternak dan joki.

Di sinilah tampaknya prestise dipertaruhkan, karena antara sandro di sakak itu dan joki yang di-back up oleh sandro saling baku ilmu. "Anda mungkin tidak percaya, dua meter menjelang sakak, kerbau bisa lari keluar garis pancang, atau jokinya terpental dari kareng," ujar Ahmad. Peserta yang keluar dari pancang atau tidak mampu merobohkan sasak dinyatakan diskualifikasi.

Di masa lampau permainan demikian malah lebih ganas lagi, ada kerbau yang tanduknya tiba-tiba copot dari kepalanya. Sebaliknya, sandro penjaga sakak buru-buru minggir, bila tidak mampu menahan kekuatan ilmu sang joki dan sandro-nya.

Bukan seperti pacuan kuda yang dalam tiap rondenya beradu lari, namun dalam barapan ini, sepasang kerbau secara bergiliran baku lari dari garis start ke garis finis. Merobohkan sakak dan mencatat waktu tercepatlah yang tampil selaku pemenang.

Arena bertanding umumnya di sawah yang berair dan berlumpur. Tinggi permukaan air dan ketebalan lumpur, tergantung panjang-pendeknya areal sawah tempat kompetisi. Bila areal sepanjang 50 meter, maka volume air sawah diupayakan lebih banyak, biar lapangan relatif becek, sekaligus dijadikan faktor kesulitan bagi peserta. Andaikan petak sawah sepanjang 100 meter, maka airnya lebih kering.

***
AWALNYA, menurut tuturan dari mulut ke mulut, pacu kerbau ini merupakan acara selamatan yang muncul dari tradisi bertani penduduk, khususnya saat musim tanam padi. Menjadikan tanah siap ditanami padi mesti dibajak tiga kali. Pasalnya, jenis tanah sawah kabupaten ini umumnya berupa tanah liat, yang karena terbatasnya hari hujan hanya bisa ditanami padi sekali setahun.

Ada pula cerita lain, yang dikutip guide senior Muslimin Jasin alias Imbik di Sumbawa, kerbau asal kabupaten itu dipasok ke Singapura oleh para pengusaha lokal. Meski ekspor kerbau berakhir tahun 1970, disebabkan kalah bersaing dengan negara lain (Australia) yang didukung teknologi pemeliharaan modern sehingga menghasilkan daging bermutu.

Berbeda dengan di Sumbawa, sejak dahulu kala hingga sekarang pemeliharaan ternak dengan sistem ekstensif: ternak dilepas bebas merumput dan mencari makan di ladang penggembalaan. Hewan itu baru disambangi, bila pemiliknya memerlukan uang baik untuk keperluan sehari-hari, membiayai sekolah anak-anaknya maupun untuk ongkos naik (menunaikan) haji.

Meski demikian, wajar agaknya penduduk kabupaten itu lebih senang memelihara kerbau ketimbang sapi bali, misalnya, karena salah satu ternak ruminansia ini tahan terhadap cuaca panas, atau daerah yang relatif sedikit ketersediaan sumber air, di samping kerbau lebih kuat dijadikan hewan kerja.

Itu disebabkan kondisi iklim yang kurang bersahabat di Tana Samawa yang hari hujannya relatif pendek. Tidak heran sawah hanya digarap sekali setahun bercocok tanam padi pada musim hujan. Selebihnya tanah dibiarkan kosong dalam tempo lama, dan ketika awal musim tanam padi tiba tanah sawah rupanya agak alot dibajak. Mungkin, demi efisiensi waktu, pemilik bersedia sawahnya dipakai arena lomba, biar tanah cepat gembur oleh pijakan kaki puluhan kerbau.

Kebiasaan itu terus berkembang sampai sekarang, bahkan dilaksanakan saban tahun, baik untuk kepentingan amal (menghimpun dana bagi pembangunan masjid, mushala, dan lain-lain), maupun dipertandingkan, yang pemenangnya disediakan hadiah seperti piala, kain sarung, kain bakal baju (batik), dan televisi. Hampir setiap desa menyelenggarakan barapan, malah panitianya sampai mengundang peserta dari luar desa.

"Kalau lagi musim tanam, baterai radio harus dijaga agar tidak soak, karena para pemilik kerbau pacu mendengar pengumuman adanya barapan biasanya lewat radio. Makanya jangan harap kita dikasih pinjam radio," ujar Ahmad berkelakar.

Sejalan dengan perkembangan pariwisata, pacu kerbau lalu dijadikan suguhan bagi wisatawan. Beberapa hotel menjual permainan rakyat ini sebagai paket wisata bagi para turis.

Kecuali sebagai ajang adu kekuatan ilmu, barapan ini bisa dikatakan pula arena bursa bagi kerbau. Ini mengingat kerbau yang menang berkompetisi, nilai jualnya amat tinggi, Rp 20-Rp 30 juta per ekor. Ini pun belum tentu pemiliknya mau menjualnya.

Malah sebelum jadi petanding dalam pentas barapan, asalkan memiliki ciri-ciri khusus sebagaimana disinggung di atas, bisa berharga Rp 6 juta-Rp 8 juta per ekor. Jauh lebih mahal dibanding harga pasar seekor kerbau untuk piaraan atau kerbau potong, yang berkisar Rp 2 juta-Rp 4 juta per ekor.
Sumber: Kompas

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman